Cerita Sex Wanita Yang Cantik Seperti Bidadari Part 1 – Penerbangan dari kota S sudah lima belas menitan mendarat. Penumpang pertama terlihat keluar dari pintu. Kemudian di susul oleh penumpang berikutnya diiringi oleh seorang porter yang menyeret sebuah troli yang penuh oleh tumpukan koper dan barang lainnya. Dalam hitungan detik suasanapun menjadi hiruk pikuk. Para supir taxi menyongsong setiap penumpang yang keluar.
Mereka memang selalu begitu. Berebutan menawarkan jasa tanpa memikirkan kenyamanan orang lain. Sementara itu beberapa petugas bandara sudah semakin kewalahan menertipkan para penjemput yang semakin menjejali pintu. Bandara Kota H memang kecil.
Ruangnya sempit dan pintu keluarnya cuma satu. Ditambah lagi orang-orangnya yang susah di atur. Sandra terlihat berupaya untuk keluar dengan susah payah di antara kerumunan orang di sana. Beberapa kali ia harus mengucapakan ‘permisi’ kepada setiap orang yang menghalangi jalannya.
Cerita Sex “Hhhhh!” akhirnya ia baru bisa lega setelah duduk di dalam taxi.
“Apartemen xxx, pak” katanya pada pak sopir.
Untungnya barusan Didiet menelpon bahwa Paijo batal menjemputnya tanpa menyebutkan alasannya. Tadinya ia sudah membayangkan perjalanan ini akan semakin menjadi lebih menjengkelkannya. Setidaknya ia masih bisa punya waktu buat rilek sejenak sebelum memulai ‘perang dunia ke-lima’ dengan Didiet setibanya di apartemen nanti.
Dua puluh lima menit kemudian ia tiba di apartemen. Senyum ramah dan sapaan dari petugas security di loby tak terlalu ia hiraukan. Ia melangkah cepat menuju ke Lift. Selama di dalam Lift ia berusaha mengingat ulang apa saja yang akan ia utarakan kepada suaminya nanti. Sambil menguatkan tekat untuk menolak setiap permintaan aneh Didiet sekalipun Didiet memaksanya melakukan itu. Ternyata Didiet sendiri yang membukakan pintu baginya.
“Hai” sapa Didiet seraya mengambil alih travelbag dari tangan Sandra. Lalu mendaratkan kecupan tipis di bibir istrinya.
Hari ini Sandra hanya memakai olesan tipis di wajahnya. Namun di mata Didiet itu hampir tak ada pengaruhnya. Kecantikan yang dimiliki Sandra memang luar biasa.
“Hmmm” Sandra menanggapinya dengan dingin. Begitu masuk pandangannya langsung memindai ke seluruh sudut ruangan. Namun ia tak menemukan apa yang ia cari.
“Mana anak itu?!” tanyanya ketus.
“Paijo maksudmu, Say? Ia masih tidur. Nanti saja kangen-kangenannya. Lebih baik engkau beristirahat dulu pagi ini”
“Apa!? Kangen-kangenan katamu?! Siapa juga yang kangen pada anak kampung itu!” Sandra langsung meledak sambil membesarkan mata.
“Aduhhh aku kan cuma bercanda, Say. Tapi aku justru suka melihat dirimu kalau sedang marah. Semakin menggemaskan!”
Wajah Sandra sempat merona. Tetapi ia tak mau kegombalan Didiet mempengaruhinya kali ini.
“Aku benar-benar tak percaya engkau melakukan semua ini! Buat apa engkau mengajak anak itu kembali!” ujar Sandra terus masuk ke gigi lima persneling dan tancap gas.
“Sabar say. Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya padamu”. Ujar Didiet dengan santai. Nyata sekali ia sama sekali tak terprovokasi oleh keberangan istrinya yang molek itu.
“Tidak perlu Dit! Aku sudah tahu semua rencanamu. Mungkin engkau bisa memaksa Nadine memenuhi hasrat liarmu pada anak itu namun tidak kepadaku!”
“Lho, Aku tak pernah memintamu datang kemari buat bercinta dengan Paijo.”
“Paijo yang mengatakannya kemarin di telepon!”
“Ha ha ha! ” Didiet tertawa geli.
“Dit! hentikan ini tidak lucu, tahu!”
“Ha ha Baik baik ….sabar dulu. Waktu itu kami hanya mengodamu.”
“Maksudmu Paijo tak sungguh-sungguh ingin bercinta denganku, begitu!? Huh!!”
“Iya, Say “
“Aku tak percaya kalian berdua tak menginginkan itu! Buktinya Nadine?!”
“Itu soal lain. Sungguh! Aku sama sekali tak memaksa Nadine. Hari itu aku terlalu lelah buat melakukan kewajibanku sebagai suami kepada Nadine. Aku cuma menawarkan kepadanya. Kalaupun ia tak bersedia akupun tak akan memaksa. Dan Nadine sendiri setuju. Ia menganggap itu murni hanyalah karena seks! tak ada perasaan sama sekali terhadap Paijo”.
“Aku sangat mengenal Nadine, Dit!. Ia tidak pernah menyukai Paijo. Kalau bukan karena ingin menyenangkan dirimu ia tak mungkin mau melakukannya dengan anak itu”
“Kenyataan yang terjadi Nadine justru sangat menginginkan persetubuhan malam itu. dan ia terpuaskan oleh anak itu. Sand, Paijo hanya memberi Nadine apa yang seharusnya Alfi rutin berikan padanya.”
Sandra mengakui.Didiet memang benar. Belakangan ini Alfi memang sudah kewalahan mengatur waktu buat memenuhi kebutuhan biologis dari sekian banyak wanita yang ada di dalam kehidupannya. Bahkan Sandra baru sadar jika Nadine memang tidak di intimi Alfi selama lebih satu bulan terakhir ini.
Bukankah dulu ia sendiri mengalami hal yang serupa tatkala Alfi jarang mendatanginya. Bagaimana ia begitu frustasi mengharapkan belaian Alfi sehingga akhirnya ia tergoda melakukan perselingkuh dengan Paijo. Jadi wajar saja bila Nadine akhirnya juga terseret dalam permasalahan yang sama dan memutuskan buat melakukan perselingkuhan.
“Tetapi bagaimana bila Alfi sampai mengetahui hal itu? Dan ia pasti akan kembali meradang”
“Seharusnya Alfi tak perlu cemburu bila ia memang sungguh-sungguh ‘hanya’ mencintaimu.” ujar Didiet memberikan penekanan pada kata ‘hanya’ pada ucapannya.
Ya! Didiet benar lagi soal itu. renung Sandra. Meski Alfi menyatakan sangat menyintai dirinya namun Alfi belum pernah membuktikan kesetiaannya. Sampai saat ini ia masih saja menebarkan cinta kepada banyak wanita. Dan Sandra yakin jumlah kekasih Alfi akan selalu bertambah seiring dengan waktu.
“Aku maklum dengan kekuatiranmu itu. Namun tak semestinya engkau berprasangka buruk terlebih dahulu kepada kami berdua. Aku tak akan pernah memaksamu melakukan apa yang tak ingin engkau lakukan Say. Begitu juga dengan Paijo. Ia tahu engkau sudah menjatuhkan pilihanmu kepada Alfi. Dan ia sadar jika ia sudah tersingkir dalam persaingan memperebutkan dirimu ketika mengetahui engkau hamil oleh Alfi” ujar Didiet lagi
“Maaf aku Dit. Aku hanya tak ingin hubunganku dan Alfi kembali memburuk. Perbuatanmu mengajak Paijo kemari sungguh membuatku bingung dan kuatir, Dit”
“Tak usah di masukan ke dalam hati Say. Aku memang belum bercerita kepadamu apa alasanku membawanya kemari”
“Sewaktu engkau memberi kabar bahwa Alfi sudah pulang maka kuputuskan untuk langsung berangkat kemari dengan mengunakan pesawat dari kota H. Dalam perjalanan menuju ke kota H aku melintasi desanya bik Iyah. Aku berhenti sejenak di sebuah Puskesmas kecil di desa itu buat meminta obat karena kepalaku mendadak puyeng. Di sana aku malah menemukan Paijo sedang terbaring di ranjang puskesmas sambil menangis.
Kulihat banyak bekas penganiayaan di sekujur tubuhnya. Mantri yang mengobatinya mengatakan bahwa Paijo telah menjadi korban penganiayaan oleh beberapa begundal suruhan seorang tuan tanah di sana. Darinya juga aku mengetahui kejadian sebenarnya bahwa ternyata bukan Paijo yang telah menghamili Surti. Gadis itu hamil oleh Ipung pacarnya sendiri yang merupakan anak tuan tanah kaya di kampungnya.
Hal itu terjadi beberapa bulan sebelum Paijo datang ke rumah kita. Karena Ipung takut bertanggung jawab maka Surti mencari jalan buat menutupi aib tersebut. Paijo yang naïf, ia benar-benar tak tahu hanya dimanfaatkan oleh Surti. Surti menjebaknya dengan keintiman. Lalu satu bulan kemudian ia mengaku telah hamil. Surti juga tahu Paijo tak akan menolak bila dimintai tanggung jawab karena sangat ngebet padanya.
Permasalahan baru muncul saat Paijo pulang ke desa, ternyata istrinya sudah diboyong oleh Ipung ke rumah besar orang tua-nya. Ipung yang tak senang akan kepulangan Paijo lalu memerintahkan beberapa karyawan perkebunan ayahnya buat mengusir Paijo dari kampung itu sekaligus menjauhkannya dari Surti untuk selama-lamanya. Tak ada seorangpun yang mau membelanya atau menolongnya saat ia di aniaya.”
“Bagaimana mungkin orang-orang di sana membiarkan hal seperti itu terjadi padahal mereka tahu Surti adalah istri Paijo?” timpal Sandra. Tanpa sadar timbul rasa ibanya terhadap nasib buruk yang selalu menimpa diri Paijo.
“Orang-orang di desanya segan terhadap keluarga Ipung yang kaya raya. Mereka lebih memilih untuk tidak ikut campur tangan dengan urusan itu. Dan satu hal lagi faktanya pernikahan antara Paijo dan Surti sesungguhnya tidaklah syah sebab mereka tak pernah benar-benar dinikahkan oleh keluarga Surti. Tak ada penghulu bahkan tak ada buku nikah. Mereka cuma tinggal serumah tanpa ada ikatan resmi”
“Sungguh malang nasib anak itu. Tadinya kupikir setelah kusuruh pulang ia akan menemukan kebahagiaan di sana.”
“Namun itulah kenyataan hubungan antara Surti dan Paijo. Seakan kemalangan selalu identik dengan orang-orang seperti dia. Nasibnya tak seberuntung Alfi. Di desa itu tak ada seorangpun yang mau mengurusinya. Lantas karena kasihan akhirnya kuputuskan mengajaknya kemari bersamaku.
Aku memang sengaja tak membawanya ke rumah kita di kota S karena aku tak ingin terjadi permasalahan lagi dengan Alfi. Namun demikian apabila engkau keberatan aku akan segera memindahkannya ke sebuah tempat kos” ujar Didiet mengakhiri penuturannya.
“Baiklah Dit. Aku bisa mengerti alasanmu mengajaknya kemari. Aku juga tak keberatan ia tinggal di sini buat sementara waktu asalkan engkau berjanji tak memintaku bercinta dengannya”
“Tentu Say. Bukankah sejak tadipun aku sudah mengatakannya. Akupun tak ingin membuatmu resah apalagi mengingat engkau sedang dalam keadaan hamil.”
Hari-hari berlalu dengan tentram. Sandra tak lagi mempermasalahkan lagi urusan Paijo. Tetapi meski demikian ia tetap menjaga jarak dengan anak itu. Hampir setiap malam ia dan Didiet bercinta. Namun hanya sebatas melakukan oral seks. karena Sandra takut akan terjadi masalah terhadap kandungannya. Sementara itu tanda-tanda kehamilannya mulai terlihat. Rasa mual mulai sering ia rasakan.
Waktu berjalan hampir dua minggu dan sampai detik ini tak terjadi hal-hal yang dikuatirkan Sandra. Sandra baru bisa bernapas lega karena baik Didiet maupun Paijo benar-benar menunjukan konsistensinya terhadap omongan mereka. Dan yang paling menggembirakan buat Sandra karena lusa ia akan pulang ke kota S.
“Mengapa ia belum juga sarapan?” Tanya Sandra heran pada suatu pagi saat menemani Didiet sarapan.
“Kukira anak itu masih terluka. Bercinta dengan Nadine ternyata tak lantas membuatnya melupakan Surti. Entah bagaimana ia harus melewati hari-harinya setelah ini. Sampai sekarangpun anak itu masih sering menangisi kemalangannya meski ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Biarkan saja. Nanti juga ia akan makan kalau ia sudah merasa lapar” ujar Didiet menanggapi.
Sandra menemukan kenyataan bahwa kini Paijo benar-benar telah banyak berubah. Ia jadi sangat pendiam. Terkadang Sandra melihat anak itu sering melamun. Namun ia ragu buat memulai dialog dengan anak itu. Tak lama setelah Didiet pergi Lila menelponnya.
“Hi, La. Ada apa ?”
“Ada yang perlu kusampaikan padamu. Ini berkaitan dengan pemeriksaan kehamilanmu tempo hari”
“Apakah ada kelainan atau …” tanya Sandra cemas.
“Tenang janinmu sehat kok.”
“Hhh! Syukurlah! Aku tadi sudah kuatir kalau-kalau ada masalah dengan janinku”
“Tidak. Aku hanya memberi tahumu bahwa sesuai dengan perhitungan kalenderku saat ini kehamilanmu telah memasuki usia sembilan minggu”
“Apakah tidak salah La? Bukankah seharusnya ini baru akan masuk minggu ke-5?”
“Tidak Sand. perhitunganku akurat untuk itu” tegas Lila
“Minggu ke-9? Ituu. .be rar ti….”
“Ya Sand, Sudah terjadi pembuahan sebelum Alfi ‘mencampurimu’. Dan bisa kupastikan ayah dari janinmu yang sesungguhnya adalah…. Paijo”
Pernyataan Lila sungguh sangat mengejutkan Sandra.
“Tidak mungkinn,La!..A.aku tahu persis aku belum hamil pada saat itu”
“Engkau keliru. Alat test kehamilan yang engkau pakai tak bisa dijadikan patokan.
Usia kandungan ditentukan dari kapan terakhir seorang wanita tak mendapatkan haidnya.”
Hening. Sandra tahu ucapan Lila selalu didukung oleh bukti klinis. Lila tahu saat itu Sandra sedang memikirkan semua yang ia sampaikan barusan.
“Maafkan aku Sand. Aku tak memberitahumu soal ini sejak awal. Aku tak ingin merusak kebahagianmu dan Alfi saat itu. Aku sebenarnya tak ingin hal itu menjadi dilema dan beban pikiranmu namun aku harus tetap harus mengatakannya padamu”
“Tidak apa-apa, La. Aku bisa mengerti. Aku justru berterima kasih atas perhatianmu” ujar Sandra.
Lila sudah melakukan sesuatu hal benar. Ia harus tahu ayah biologis dari janin yang dikandungnya. Sehingga dengan begitu apabila dikemudian hari ada permasalahan yang membutuhkan pertolongan dari sang ayah biologis anaknya, dia tahu harus mencari siapa. Untungnya Nadine memakai kontrasepsi saat bercinta dengan anak itu jika tidak dia juga pasti akan terbuahi oleh Paijo.
“Ada satu berita lagi buatmu, Sand. Namun yang satu ini akan sangat mengembirakan. Aku melihat ada dua janin di rahimmu”
“OHH! K KKEMBARR! Benarkahh, Laa?!”pekik Sandra girang.
“Aku tak mungkin salah lihat. Mudah-mudahan saat engkau pulang nanti kita bisa melihatnya semakin jelas melalui alat USG. Sekali lagi selamat buatmu ya, Sand”
“La, a..akuu tak tahu harus bicara apa. Di satu sisi aku benar-benar bahagia mendapati aku bakal memiliki dua orang bayi namun di sisi lain akupun merasa kuatir jika suatu saat Alfi mengetahui bahwa sesungguhnya bukan dia yang berhasil menghamiliku”
“Menurutku saat ini nikmati saja dulu kebahagiaanmu. Perlahan-lahan kita cari cara buat memberi pengertian pada Alfi. Oya jangan lupa atur menu makananmu sebab janinmu memerlukan asupan nutrisi sejak dini ”
“Terima kasih, La. Oya bagaimana dengan kandunganmu sendiri?”
“Ini sudah masuk bulannya bagi dia lahir. Hmmm…Kira-kira dia akan mirip denganku atau Alfi ya, Sand?”tanya Lila.
“Mudah-mudahan ia lebih mirip ke kamu, La. Biar kalau sudah gede dia ga minder-an sama Alfina dan Fini hi hi”
“Hi hi benar juga katamu. Eh Sand..sudah dulu ya. Aku jadi ingat ada yang harus aku beli buat Fili”
“Fili? Engkau memberinya nama itu? Hi hi Baiklah kalau begitu.. Daagg!”
Setelah menutup pembicaraan Sandra termenung memikirkan semua rankaian kejadian ini. Sungguh tak ia sangka ternyata justru Paijo yang berhasil membuahinya. Tidak tanggung-tanggung, Paijo justru memberinya dua orang bayi sekaligus.
Ia benar-benar menjadi serba salah bagaimana harus bersikap kepada anak itu. Soalnya akhir-akhir ini ia telah memperlakukan anak itu secara kurang baik. Lalu bagaimana juga dengan Alfi? Bagaimana reaksinya bila mendengar berita ini. Sandra jadi benar-benar bingung.
“Buu…ibu tidak apa-apa?”
Terdengar seseorang menegurnya.
“Eh ohh kamu Jo. Ya aku tidak apa-apa. Kenapa?” Sandra benar-benar tak menyadari kehadiran anak itu di situ.
“Syukurlah sedari tadi saya sudah memanggil ibu berkali-kali tapi ibu tak menyahut”
“Ohh begitukah? Em ada apa Jo?”
“Saya cuma mau mengembalikan ini sama ibu” ujar Paijo sambil menyodorkan sebuah amplop.
“Apa ini Jo?”
“Itu uang yang dulu ibu kasih ke saya buat istri saya melahirkan. Saya kembalikan ke ibu karena ternyata sudah tidak diperlukan lagi”
“Tak perlu dikembalikan. Jo”
“Tapi buu”
“Simpan saja. Suatu saat engkau pasti membutuhkannya”
“Terima kasih bu. Tapi kalau ibu tak keberatan saya mau titip uang dari ibu ini buat bu de saja.”
Sandra mengeleng-gelengkan kepala. Anak ini tak jauh berbeda dengan Alfi. Agak keras kepala. Namun memiliki hati yang baik.
“Hmmm…Baiklah jika itu keinginanmu. Begitu aku pulang lusa langsung akan kusampaikan pada bik Iyah”
“Terima kasih bu. Saya juga sekalian mau pamit ke ibu karena mulai minggu depan saya tidak tinggal di sini lagi”
“Lho kamu mau kemana?”
“Saya diterima kerja sebagai buruh angkut di sebuah pertambangan milik temannya pak Didiet di pulau K.”
“Pulau K? itu jauh sekali, Jo”
“Iya. justru itu saya minta tolong ibu. Siapa tahu saya bakal lama baru bisa bertemu sama bu de lagi”
“Apakah engkau sudah pikirkan matang-matang keputusanmu itu? Bekerja di tempat seperti itu begitu berat bagi anak seusiamu”
Aneh! pikir Sandra. Mengapa jauh di lubuk sanubarinya muncul perasaan tak tega melihat anak ini pergi? Mengapa ia tak ingin Paijo harus terus menerus berkutat dalam penderitaan selama hidupnya? Jelas itu lebih dari sekedar hanya rasa kasihan.
“Tidak apa-apa kok bu. Saya harus kerja supaya bu de bangga sama saya. Dengan begitu saya juga bisa ngasih ke bu de uang yang banyak. he he” Paijo mengucapkan hal itu dengan kebanggaan.
“Jo kamu sebenarnya anak yang berbakti. Baik-baiklah kamu di rantauan dan pandai-pandailah membawa diri, ya”.
“Ya bu, terima kasih atas nasehatnya”
Paijo sudah akan melangkah keluar namun ia berbalik lagi.
“Oya saya lupa beri selamat sama ibu.”
“Selamat buat apa, Jo?”
“Selamat karena ibu bakal dapat momongan”
“Oh i..tu iya. terima kasih” Sandra tergagap.
“Wahh wah kang Alfi memang hebat. Bisa punya momongan begitu banyak ” ujar Paijo berkata sendiri. Paijo masih terus bergumam terkagum-kagum sambil melangkah ke luar.
Sandra memandang punggung Paijo tanpa dapat berkata-kata. Anak itu begitu tulus menyatakan kebahagian buatnya.
Siangnya
Ia ingat bukankah tadi siang Paijo berencana menyikat lantai kamar mandi karena kuatir Sandra sampai jatuh terpleset gara-gara lantai yang licin. Aneh! mengapa anak itu begitu lama?. Jangan-jangan dia malah onani di dalam situ. Dasar! pikir Sandra. Timbul keisengannya. Ia ingin mengagetkan Paijo. Perlahan ia mengendap ke dekat kamar mandi. Lamat-lamat telinganya mendengar suara tangisan dari balik pintu kamar mandi. Karena penasaran akan apa yang terjadi di dalam kamar mandi, Sandra mendorong pintu itu.
“Joo apa yang terjadi?.” Tanya Sandra heran melihat Paijo duduk meringkuk sambil sesegukan di lantai kamar mandi. Kepalanya tertunduk masuk di dalam lipatan tangannya yang ditopang kedua lutut. Celananya basah semua. Paijo tak menjawab. Ia terus larut dalam tangisnya. Sandra bingung harus berbuat apa sampai akhirnya ia melihat sebuah hp di pangkuan Paijo.
“Boleh kulihat?” tanyanya. Meski Paijo tak menjawab. Sandra tetap meraih benda itu. Ternyata ada sebuah sms. Dari Surti rupanya.
“Kang mas Paijo, sebelumnya Surti minta maaf. Surti hanya mau mengabarkan jika Surti dan kang Ipung sudah menikah pagi tadi. Surti mohon jangan hubungi Surti lagi setelah ini. Terima kasih atas pengorbanan kang mas selama ini. Salam Surti.”
Jelas ini biang keladinya!. Dasar perempuan tak tahu balas budi! umpat Sandra dalam hati. Seharusnya dia tak perlu lagi menghubungi Paijo setelah mencampakannya seperti sampah. Yang jelas kabar itu hanya akan melukai perasaan Paijo saja.
“Joo..sabar ya. Tabahkan hatimu” bujuk Sandra
“Surtiii..huu huuu.” Dengan perasaan pilu Paijo menyebut nama wanita yang ia sayangi itu di sela tangisannya. Sandra sungguh merasa iba. Anak semuda itu tak seharusnya mengalami penderitaan batin begitu bertubi-tubi. Jiwanya masih sangat rapuh dan labil.
“Tak usah engkau tangisi perempuan seperti itu Jo. Dia dan keluarganya hanya memanfaatkan dirimu saja selama ini!”
“Tapi..saya hks cinta sekali sama Surtii, bu.. hks.. hks” jawab Paijo tersengal-sengal karena pernapasannya terbuka dan tertutup sendiri akibat dari reaksi metabolisme dari tangisnya yang berlangsung terlalu lama.
“Tapi dia tak menyintaimu,Jo. Dan yang ada di kandungan Surti bukanlah anakmu. Itu adalah anaknya Ipung”
“Berarti saya.. hks.. sudah tidak punya harapan lagiii. Kalau begitu biar saya mati saja buu! huu huuu”
“Aduhhh Joo! Engkau tidak boleh putus asa seperti itu!.”
Sandra jadi kuatir anak itu akan bertindak nekat karena tak mampu menahan kesedihannya. Tak ada jalan lain buat menghentikan itu pikir Sandra. Ia harus memberitahu Paijo soal kehamilannya.
“Joo, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan kepadamu”
“hks hks huuuu…huu” Paijo terus menangis.
“Ketahuilah Jo bahwa janin yang ada dirahimku sebenarnya adalah…. anakmu” lanjut Sandra.
Paijo mengangkat kepalanya.
“A.anak saya? ibu kok ngomong begitu hks…? Kan ibu sendiri yang bilang kalau saya mandul huu huu”
Setelah mengatakan itu Paijo kembali meraung pedih. Ia menjadi semakin sedih dan merasa tak berguna sebab yang ia tahu ia sudah gagal dan janin di rahim Sandra itu adalah buah percintaan antara Sandra dengan Alfi.
“Dengarkan aku dulu, Jo. Aku mengatakan yang sesungguhnya. Memang kamu yang telah membuatku hamil” ujar Sandra sambil meraih wajah anak itu dengan kedua tangannya.
Paijo menghentikan tangisnya sambil menatap Sandra.
“Maafkan aku. Aku-pun baru pagi ini tahu itu dari Lila. Terapi tempo hari ternyata berhasil. Bahkan kamu memberiku bayi kembar “sambung Sandra.
“Kem..baarr? Ibu bukan cuma mau nyenengin saya, kan?” tanya Paijo dengan perasaan bercampur aduk.
“Percayalah. Jo.”
“Tapi bagaimana dengan Surti buu”
“Soal Surti. Kamu harus bisa merelakannya. Mungkin ia memang bukan jodohmu. Suatu saat engkau pasti akan menemukan pengganti Surti. Kamu masih memiliki bik Iyah yang menyayangimu seperti putranya sendiri. Dan kamu masih memiliki ini” ujar Sandra sambil menunjuk ke perutnya.
“Engkau maukan bertemu dengan kedua anakmu kelak?” tanya Sandra.
Paijo mengangguk dengan air matanya masih meleleh di pipi.
“Iya bu saya pingin melihat mereka setelah lahir”
“Nah! kalau begitu kamu harus tetap melanjutkan hidupmu. Bukankah tadinya engkau begitu bersemangat bekerja dan mencari uang buat bu de-mu. Seharusnya engkau bertambah giat setelah tahu engkau bakal menjadi seorang ayah”
“Iya buu. Terima kasih.” jawab Paijo sambil mengusap sisa-sisa air matanya dengan mempergunakan ujung bajunya.
“Sudah tidak sedih lagi kan?”
Ia kembali mengangguk kecil. Sandra tahu tak segampang itu meredakan kesedihan anak ini. Tapi ia sedikit agak lega melihat Paijo mulai tenang. Sepertinya nasehatnya kali ini mengena. Sandra yakin anak itu mau mendengarkan ucapannya.
“Tapi Buu”
“Apa lagi Jo?”
“Jangan bilang ke siapa-siapa”
“Soal apa?”
“Soal siapa sebenarnya ayah kedua anak saya ini. Biarlah kang Alfi dan yang lain tetap mengira ayah bayi di dalam perut ibu adalah kang Alfi. “
“Kenapa kamu mau aku melakukan hal itu Jo?”
“Saya tidak ingin dia jadi sedih seperti yang saya alami sekarang. Lantas akan menjadi masalah baru buat keluarga ibu”
“Tapi ini tak adil buat kamu, Jo”
“Tidak apa-apa bu. Saya rela demi ibu dan kedua anak saya”
“Ohh Jo ..kamu ternyata adalah seorang calon bapak yang baik. Terima kasih karena sudah mau memikirkan aku.” Sandra haru sekaligus iba. Haruskah Paijo menderita lagi setelah apa yang ia alami selama ini. Namun di sisi lain pendapat Paijo barusan benar adanya dan ia sendiri juga tak ingin Alfi kembali ngambek dan menimbulkan konflik baru yang berkepanjangan
“Segera ganti pakaianmu. Nanti engkau keburu masuk angin”.
“Baik bu”
Bersambung . . . .