Cerita Sex Perselingkuhan Para Istri Cantik Part 3 – “Tante, aku pengin ngentot memek Tante sekarang”. Aku tidak tahu maunya, belum juga aku puas mengulum kontolnya dia angkat tubuhku. Dia angkat satu kakiku ke meja dapur hingga nonokku terbuka. Kemudian dia tusukkannya kontolnya yang lumayan gede itu ke memekku. Aku menjerit tertahan, sudah lebih dari 3 bulan Oke, suamiku nggak nyenggol-nyenggol aku.
Yang sibuklah, yang rapatlah, yang golflah. Terlampau banyak alasan untuk memberikan waktunya padaku. Kini kegatalan kemaluanku terobati, Kocokkan kontol Donny tanpa kenal henti dan semakin cepat. Anak muda ini maunya serba cepat. Aku rasa sebentar lagi spermanya pasti muncrat, sementara aku masih belum sepenuhnya puas dengan entotannya.
Saya harus menunda agar nafsu Donny lebih terarah. Aku cepat tarik kemaluanku dari tusukkannya, dan berbalik sedikit nungging dengan tanganku bertumpu pada tepian meja. Saya pengin dan mau Donny nembak nonokku dari arah belakang. Ini adalah gaya favoritku. Biasanya aku akan cepat orgasme saat dientot suamiku dengan cara ini. Donny tidak perlu menunggu permintaanku yang kedua. Kontolnya langsung di desakkan ke memekku yang telah siap untuk melahap kontolnya itu.
Nah, aku merasakan enaknya kontol Donny sekarang. Pompaannya juga lebih mantab dengan pantatku yang terus mengimbangi dan menjemput setiap tusukan kontolnya. Ruang dapur jadi riuh rendah. Selintas terpikir olehku, di mana si Idang. Apakah dia masih berkutat dengan komputernya? Atau dia sedang mengintip kami barangkali? Tiba-tiba dalam ayunan kontolnya yang sudah demikian keras dan berirama Donny berteriak.
“Dang, Idang, ayoo, bantuin aku .., Dang..”.
Ah, kurang asem anak-anak ini. Jangan-jangan mereka memang melakukan konspirasi untuk mengentotku saat ada kesempatan disuruh mamanya untuk mengirimkan oleh-oleh itu. Kemudian kulihat Idang dengan tenangnya muncul menuju ke dapur dan berkata ke Donny
“Gue kebagian apanya Don?’
“Tuh, lu bisa ngentot mulutnya. Dia mau kok”.
Duh, kata-kata seronok yang mereka ucapkan dengan kesan seolah-olah aku ini hanya obyek mereka. Dan anehnya ucapan-ucapan yang sangat tidak santun itu demikian merangsang nafsu birahiku, sangat eksotik dalam khayalku. Aku langsung membayangkan seolah-olah aku ini anjing mereka yang siap melayani apapun kehendak pemiliknya.
Oke Sex Aku melenguh keras-keras untuk merespon gaya mereka itu. Kulihat dengan tenangnya Idang mencopoti celananya sendiri dan lantas meraih kepalaku dengan tangan kirinya, dijambaknya rambutku tanpa menunjukkan rasa hormat padaku yang adalah teman mamanya itu, untuk kemudian ditariknya mendekat ke kontolnya yang telah siap dalam genggaman tangan kanannya. Kontol Idang nampak kemerahan mengkilat. Kepalanya menjamur besar diujung batangnya.
Saat bibirku disentuhkannya aroma kontolnya menyergap hidungku yang langsung membuat aku kelimpungan untuk selekasnya mencaplok kontol itu. Dengan penuh kegilaan aku lumati, jilati kulum, gigiti kepalanya, batangnya, pangkalnya, biji pelernya. Tangan Idang terus mengendalikan kepalaku mengikuti keinginannya. Terkadang dia buat maju mundur agar mulutku memompa, terkadang dia tarik keluar kontolnya menekankan batangnya atau pelirnya agar aku menjilatinya.
Duh, aku mendapatkan sensasi kenikmatan seksualku yang sungguh luar biasa. Sementara di belakang sana si Donny terus menggenjotkan kontolnya keluar masuk menembusi nonoknya sambil jari-jarinya mengutik-utik dan disogok-sogokkannya ke lubang pantatku yang belum pernah aku mengalami cara macam itu. Oke, suamiku adalah lelaki konvensional. Saat dia menggauliku dia lakukan secara konvensional saja. Sehingga saat aku merasakan bagaimana perbuatan teman dan anak sahabatku ini aku merasakan adanya sensasi baru yang benar-benar hebat melanda aku. Kini 3 lubang erotis yang ada padaku semua dijejali oleh nafsu birahi mereka. Aku benar-benar jadi lupa segala-galanya. Aku mengenjot-enjot pantatku untuk menjemputi kontol dan jari-jari tangan Donny dan mengangguk-anggukkan kepalaku untuk memompa kontol Idang.
“Ah, Tante, mulut Tante sedap banget, sih. Enak kan, kontolku. Enak, kan? Sama kontol Oom enak mana? N’tar Tante pasti minta lagi, nih”.
Dia percepat kendali tangannya pada kepalaku. Ludahku sudah membusa keluar dai mulutku. Kontol Idang sudah sangat kuyup. Sesekali aku berhenti sessat untuk menelan ludahku.
Tiba-tiba Donny berteriak dari belakang, “Aku mau keluar nih, Tante. Keluarin di memek atau mau diisep, nih?”.
Ah, betapa nikmatnya bisa meminum air mani anak-anak ini. Mendengar teriakan Donny yang nampak sudah kebelet mau muncratkan spermanya, aku buru-buru lepaskan kontol Idang dari mulutku.
Aku bergerak dengan cepat jongkok sambil mengangakan mulutku tepat di ujung kontol Donny yang kini penuh giat tangannya mengocok-ocok kontolnya untuk mendorong agar air maninya cepat keluar.
Kudengar mulutnya terus meracau, “Minum air maniku, ya, Tante, minum ya, minum, nih, Tante, minum ya, makan spermaku ya, Tante, makan ya, enak nih, Tante, enak nih air maniku, Tante, makan ya..”.
Air mani Donny muncrat-muncrat ke wajahku, ke mulutku, ke rambutku. Sebagian lain nampak mengalir di batang dan tangannya. Yang masuk mulutku langsung aku kenyam-kenyam dan kutelan. Yang meleleh di batang dan tanganannya kujilati kemudian kuminum pula. Kemudian dengan jari-jarinya Donny mengorek yang muncrat ke wajahku kemudian disodorkannya ke mulutku yang langsung kulumati jari-jarinya itu.
Ternyata saat Idang menyaksikan apa yang dikerjakan Donny dia nggak mampu menahan diri untuk mengocok-ocok juga kontolnya. Dan beberapa saat sesudah kontol Donny menyemprotkan air maninya, menyusul kontol Idang memuntahkan banyak spermanya ke mulutku. Aku menerima semuanya seolah-olah ini hari pesta ulang tahunku. Aku merasakan rasa yang berbeda, sperma Donny serasa madu manisnya, sementara sperma Idang sangat gurih seperti air kelapa muda.
Dasar anak muda, nafsu mereka tak pernah bisa dipuaskan. Belum sempat aku istirahat mereka mengajak aku ke ranjang pengantinku. Mereka nggak mau tahu kalau aku masih mengagungkan ranjang pengantinku yang hanya Oke saja yang boleh ngentot aku di atasnya. Setengahnya mereka menggelandang aku memaksa menuju kamarku. Aku ditelentangkannya ke kasur dengan pantatku berada di pinggiran ranjang. Idang menjemput satu tungkai kakiku yang dia angkatnya hingga nempel ke bahunya.
Dia tusukan kontolnya yang tidak surut ngacengnya sesudah sedemikian banyak menyemprotkan sperma untuk menyesaki memekku, kemudian dia pompa kemaluanku dengan cepat kesamping kanan, kiri, ke atas, ke bawah dengan penuh irama. Aku merasakan ujungnya menyentuh dinding rahimku dan aku langsung menggelinjang dahsyat. Pantatku naik turun menjemput tusukan-tusukan kontol legit si Idang. Sementara itu Donny menarik tubuhku agar kepalaku bisa menciumi dan mengisap kontolnya. Kami bertiga kembali mengarungi samudra nikmatnya birahi yang nikmatnya tak terperi.
Hidungku menikmati banget aroma yang menyebar dari selangkangan Donny. Jilatan lidah dan kuluman bibirku liar melata ke seluruh kemaluan Donny. Kemudian untuk memenuhi kehausanku yang amat sangat, paha Donny kuraih ke atas ranjang sehingga satu kakinya menginjak ke kasur dan membuat posisi pantatnya menduduki wajahku. Dengan mudah tangan Donny meraih dan meremasi susu-susu dan pentilku. Sementara hidungku setengah terbenam ke celah pantatnya dan bibirku tepat di bawah akar pangkal kontolnya yang keras menggembung.
Aku menggosok-gosokkan keseluruhan wajahku ke celah bokongnya itu sambil tangan kananku ke atas untuk ngocok kontol Donny. Duh, aku kini tenggelam dalam aroma nikmat yang tak terhingga. Aku menjadi kesetanan menjilati celah pantat Donny. Aroma yang menusuk dari pantatnya semakin membuat aku liar tak terkendali. Sementara di bawah sana Idang yang rupanya melihat bagaimana aku begitu liar menjilati pantat Donny langsung dengan buasnya menggenjot nonokku. Dia memperdengarkan racauan nikmatnya,
“Tante, nonokmu enak, Tante, nonokmu aku entot, Tante, nonokmu aku entot, ya, enak, nggak, heh?, Enak ya, kontolku, enak Tante, kontolku?”.
Aku juga membalas erangan, desahan dan rintihan nikmat yang sangat dahsyat. Dan ada yang rasa yang demikian exciting merambat dari dalam kemaluanku. Aku tahu orgasmeku sedang menuju ke ambang puncak kepuasanku. Gerakkanku semakin menggila, semakin cepat dan keluar dari keteraturan. Kocokkan tanganku pada kontol Donny semakin kencang. Naik-naik pantatku menjemputi kontol Idang semakin cepat, semakin cepat, cepat, cepat, cepat.
Dan teriakanku yang rasanya membahana dalam kamar pengantinku tak mampu kutahan, meledak menyertai bobolnya pertahanan kemaluanku. Cairan birahiku tumpah ruah membasah dab membusa mengikuti batang kontol yang masih semakin kencang menusukki nonokku. Dan aku memang tahu bahwa Idang juga hendak melepas spermanya yang kemudian dengan rintihan nikmatnya akhirnya menyusul sedetik sesudah cairan birahiku tertumpah. Kakiku yang sejak tadi telah berada dalam pelukannya disedoti dan gigitinya hingga meninggalkan cupang-cupang kemerahan.
Sementara Donny yang sedang menggapai menuju puncak pula, meracau agar aku mempercepat kocokkan kontolnya sambil tangannya keras-keras meremasi buah dadaku hingga aku merasakan pedihnya. Dan saat puncaknya itu akhirnya datang, dia lepaskan genggaman tanganku untuk dia kocok sendiri kontolnya dengan kecepatan tinggi hingga spermanya muncrat semburat tumpah ke tubuhku. Aku yang tetap penasaran, meraih batang yang berkedut-kedut itu untuk kukenyoti, mulutku mengisap-isap cairan maninya hingga akhirnya segalanya reda. Jari-jari tanganku mencoleki sperma yang tercecer di tubuhku untuk aku jilat dan isap guna mengurangi dahaga birahiku.
Sore harinya, walaupun aku belum sempat merasakan getuk kirimannya yang kini berada dalam lemari esku dengan penuh semangat dan terima kasih aku menelepon Yenny.
“Wah, terima kasih banget atas kirimannya, ya Yen. Karena sudah lama aku tidak merasakannya, huh, nikmat banget rasanya. Ada gurihnya, ada manisnya, ada legitnya”, kataku sambil selintas mengingat kenikmatan yang aku raih dari Idanganaknya dan Donny temannya.
Yenny tertawa senang sambil menjawab, “Nyindir, ya. Memangnya kerajinan tanduk dari Pucang (sebuah desa di utara Magelang yang menjadi pusat kerajinan dari tanduk kerbau) itu serasa getuk kesukaanmu itu. N’tar deh kalau aku pulang lagi, kubawakan sekeranjang getukmu”.
Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Mati aku, demikian pikirku. Ternyata bingkisan dalam kulkas itu bukan getuk kesukaanku.
Peristiwa kelima (DI TENGAH PESTA)
Aku dan suamiku datang 30 menit lebih awal, soalnya ini pesta kawin perak boss dimana suamiku harus menunjukkan loyalitasnya. Bangunan pendopo di rumah boss telah berubah menjadi ball room yang hebat. Nampak meja-meja panjang yang telah ditata mewah lengkap dengan gelas-gelas kristal dan sendok garpu peraknya serta piring-piring porselin diatas taplak putih bersih yang menghampar menutup mejanya. Sementara para pelayan sibuk menyiapkan makanan dan perangkat penunjangnya yang juga memamerkan kemewahan pesta ala orang-orang Barat.
Diatas stage nampak duduk seorang pianis dengan tuxedo buntut-nya yang menyentuh lantai sementara tangannya menyentuh lembut tuts piano Vluegel yang terbuka sayapnya untuk memperdengarkan, entah benar entah tidak, sepotong karya Tchaikovsky. Dan di bawahnya terbentang lantai kayu mahoni yang sangat mengkilat yang nanti akan dipenuhi para pasangan anggun yang melintasinya dalam acara Polonaise yang elegant itu. Aku dan suamiku telah siap untuk ikut meramaikannya dan untuk itu kami telah berlatih Polonaise setiap hari di pusat latihan tari Nana Marina yang top itu.
Sementara itu cahaya ruangan yang datang dari lampu-lampu kristal buatan Rossental yang super mewah jatuh temaram telah menciptakan harmoni antara karpet yang merah darah, meja-meja putih dengan gelas-gelas kristalnya, para tuan dan nyonya yang berseliweran dalam busana resmi pesta berupa jas tuxedo lengkap dengan celananya yang ber-strip sutra putih disampingnya untuk para tamu pria dan gaun malam berwarna gelap untuk wanita pasangannya lengkap dengan sarung tangannya yang membungkus tangan-tangan mereka hingga sebatas lengannya. Aku sendiri setengah mati menyiapkan ini semua.
Sebagai perempuan kelahiran desa Gempol, Wonosari, pesta macam begini baru sekali kami alami, dan maknanya sangat luar biasa bagi kami. Kami, suamiku dan aku, mempersiapkan diri lebih dari satu bulan dengan entah menghabiskan berapa juta rupiah untuk busana yang mungkin baru sepuluh tahun lagi kami pakai kembali. Tetapi aku sendiri berbahagia dengan kesempatan ini.
Aku mendatangi Harry Darsono, desainer top kita itu, untuk konsultasi sekaligus memesan busana yang sesuai dengan aku. Kemudian pada jatuh harinya, seharian ini aku berkutat di rumah fashionnya untuk menyetel semuanya termasuk melatih aku bagaimana mesti membawakan diri dengan busana macam ini. Aku memakai gaun terusan yang berhenti di dadaku untuk digantungkan dengan tali lembut ke bahuku. Dengan kain sutra yang khusus di datangan dari Amerika, begitu kata Harry, gaun malamku ini dia kerjakan siang malam selama lebih dari 2 minggu. Hasilnya sangat memuaskan aku. Saat aku keluar hendak pulang mereka bilang tampilanku sangat cantik mempesona seperti Cinderella atau Boneka Barby yang seksi itu. Aku tidak tahu persis, adakah Harry Darsono dan teman-temannya tahu bahwa aku berasal dari desa Gempol, Wonosari.
Kini aku dengan busana malamku, parfum L’Ivonne-ku serta beberapa bentuk gelang berlian ditangan kanan dan kiriku dengan penuh percaya diri menggandeng tangan suamiku bak pengantin agung memasuki ruangan pesta yang sangat mewah ini. Aku merasa seolah-olah semua nafas terhenti dan semua mata menyaksikan kehadiran kami, tentunya karena adanya aku yang dibilang mirip Cinderella dan Boneka Barbie tadi. Ada sih, yang nampak acuh saja saat aku melewati mereka, ah, biarlah, mungkin mereka tahu bahwa aku hanya berasal dari desa Gempol, Wonosari.
Suamiku memperhatikan tulisan nama-nama di meja. Panitia pesta telah menyusun secara protokoler siapa duduk di mana. Sebagai top eksekutif perusahan suamiku membawa aku untuk menempati kursi dekat dengan kursi boss dan nyonya. Disamping kanan kiri kami kubaca nama-nama para tokoh-tokoh masyarakat baik pengusaha, celebriti ataupun pejabat dan politisi negeri tercinta ini. Beberapa tamu yang telah hadir terlebih dahulu memberikan hormat pada suamiku dan kemudian meraih dan mencium tanganku sebagaimana layaknya menghadapi seorang putri terhormat macam Cinderella itu. Pasti mereka termasuk yang tidak tahu bahwa aku berasal dari desa Gempol, Wonosari. Aku merasa sangat tersanjung. Aku lihat mata mereka yang tidak berkedip memperhatikan aku sekaligus melupakan bahwa disebelah kiri mereka ada istrinya yang mestinya tidak kalah cantik denganku. Dan kulihat betapa para istri-istri itu sedemikian cemburu, bahkan ada yang terang-terangan mencibirkan bibirnya, mungkin mereka itu tahu persis bahwa aku asli berasal dari Gempol.
Suamiku menarik kursi berukir keemasan untukku, baru kali ini dia lakukan selama lebih dari 10 tahun kami menikah, kemudian dengan usaha keras agar nampak anggun seanggun-anggunnya, aku menempatkan pantatku untuk duduk. Tiba-tiba aku ingat telepon genggam atau HP-ku yang baru kubeli terlupa ketinggalan di laci mobil, aku harus mengambilnya karena aku sudah janji kepada Ratmi teman sedesaku yang kini buka salon dekat rumahku di RW 07 kampung Warakas, Tanjung Priok. Dengan HP-ku yang mutakhir itu aku bisa mengabadikan dalam foto-foto seluruh kejadian pada pesta mewah ini, sehingga aku tak usah banyak cerita padanya. Aku bisikkan kepada Mas Karsiman, suamiku, tentang HP-ku yang ketinggalan di mobil itu. Dengan tanpa mengindahkan tata krama bagaimana seharusnya melayani istri anggunnya dia ngomel padaku, dimana sih ingatan kamu, begitu saja kok lupa, dasar “cah ndeso”, katanya. Dia rogoh celananya dan lemparkan kunci mobilnya ke aku. Kuakui bahwa dari sekian banyak orang di ruangan ball room itu, hanya Mas Karsiman-lah orang yang paling tahu bahwa aku benar-benar dari desa Gempol, Wonosari.
Aku beranjak dari kursiku dan bergegas ke mobil di halaman parkir. Saat aku turun dari teras sambil sedikit mengangkat gaun malamku agar tidak nyerimpet kakiku seorang petugas parkir yang berkumis melintang dan memakai seragamnya yang gagah membungkuk dalam-dalam penuh hormat, meraih tanganku dan menciumnya kemudian dia menanyakan apakah aku perlu bantuan. Sikap penuh hormatnya yang hebat itu membuat aku sangat tersanjung, dan bak seorang nyonya yang super penting aku minta dia untuk mendampingi aku menuju ke mobil. Beda dengan suamiku, aku pastikan dialah orangnya yang paling sama sekali tidak tahu bahwa aku berasal dari desa Gempol, Wonosari. Dia bantu aku mengangkat gaun malamku agar tidak nyerimpet kakiku. Dan dia mengangkat benar-benar tinggi hingga jauh dari kakiku, bahkan hampir setengah pahaku. Wah, aku kembali lebih tersanjung oleh penghormatannya. Apalagi setelah kuamati petugas parkir itu ternyata ganteng banget, jauh lebih ganteng dari pada suamiku. Terlintas pada pikiranku kalau petugas parkir ini lebih cocok sebagai pendampingku, sementara Mas Karsiman akan lebih cocok menggantikannya sebagai petugas parkir.
Sampai di lapangan parkir aku lihat mobilku yang menghadap ke jalan sudah dipepet berdesak oleh mobil lain, tetapi untung di sebelah pintu yang aku akan buka masih ada ruang untuk daun pintu mobilku. Petugas yang baik dan penuh hormat itu dengan sabar menantikan aku membuka pintu mobil dengan terus mengangkat gaun malamku sebagaimana permintaanku tadi. Sesudah mencoba beberapa mata kunci, akhirnya pintu mobilku terbuka. Aku buka lebar-lebar pintunya dan langsung merunduk nungging mencari HP-ku yang ketinggalan. Aku meraba-raba jok kursi depan dan jok kursi belakang, kemudian membukai laci-laci tetapi tak kunjung kutemukan HP-ku itu. Sementara itu petugas parkir yang ganteng tadi mulai mencium bokongku. Uh, rasanya ketersanjunganku makin sangat tak tehingga, kalau orang-orang cukup mencium tanganku sebagai tanda hormatnya, petugas parkir ini lebih-lebih lagi dengan mau mencium bokongku.
Keyakinanku bahwa dia benar-benar tidak mengetahui asal-usulku yang dari desa Gempol, Wonosari jadi ber-lipat-lipat. Apalagi saat menciumi bokongku juga diikuti semakin meninggikan ngangkat gaun malamku agar nantinya tidak menyandung kakiku. Sedemikian tingginya dia mengangkat gaunku hingga kurasakan betapa kumisnya yang melintang itu langsung membuat aku merinding saat menyentuh pori-pori bokongku. Ketika tangan-tanganku tak juga menemukan HP-ku dalam mobil itu aku mencoba bertahan untuk tetap nungging beberapa saat lagi guna memberi kesempatan lebih lama kepada petugas parkir itu menyampaikan hormatnya padaku.
Kemudian saat ciumannya juga dia tambahkan dengan kecupan bibirnya dan jilatan lidahnya aku langsung ingat akan kebiasaan suamiku yang selalu mengawali godaannya padaku dengan ciuman di bokongku, kemudian mengecup dan menjilatinya sebagaimana yang kini dilakukan petugas parkir ini. Yang selanjutnya aku sangat ingin tahu adalah, apakah dia juga akan melepasi celana panjangnya dan menempelkan tongkat panjangnya untuk di usel-uselkan kebokongku sebagaimana yang juga diperbuat suamiku. Aku perlu menunggu beberapa saat hingga ternyata dia benar-benar melakukan persis seperti yang biasa dilakukan suamiku itu. Ah, bukan main petugas parkir ini, dia betul-betul mengetahui dengan persis kebiasaan suamiku.
Dan ketika dia kemudian bangkit mencopoti celana dalamku dan melemparkannya ke jok mobilku kemudian dengan penuh emosi merangkul tubuhku serta kedua tangannya meraih susu-susuku dan meremas-remasinya, sementara tongkatnya yang hangat, gede dan panjang itu disodok-sodokan ke daerah yang sangat rahasia milikku, aku betul-betul merasa sedang menghadapi suamiku. Tetapi kali ini ada yang beda, petugas parkir ini memberikan kenikmatan 73 kali lipat dari kenikmatan yang bisa diberikan suamiku. Aku katakan 73 karena yang dia tuju (tujuh) ada 3, pertama adalah nonokku yang merupakan milikku yang paling rahasia yang selama ini hanya suamiku yang berhak mengambilnya, kedua adalah buah dadaku sangat menampakkan pesona dan nikmat sensual dan yang ketiga.., apa, ya..? Tiba-tiba aku terlupa karena aku rasakan sodokan di bawah sana menghunjam-hunjam demikian hebatnya hingga nikmatnya membuat aku lupa segala-galanya.
Sodokan tongkat panas dan panjang petugas parkir itu demikian dalam menembusi nonokku hingga menyentuh dinding rahimku. Sementara dinding-dinding nonokku yang dipenuhi saraf-saraf peka terus melumat dan meremas-remas batang bulat gede itu karena kegatalan. Ketika lumatan dan remasan dinding peka itu belum juga mengurangi kegatalanku, aku terpaksa membantunya dengan menggoyang-goyangkan ke kanan dan ke kiri serta memaju dan mundurkan pantat serta pinggulku hingga seluruh badan mobilku pun ikut bergoyang-goyang. Pada saat seperti ini biasanya suamiku minta supaya aku berpura-pura ditimpa nikmat yang tak terhingga, dia minta supaya aku mendesah dan merintih bahkan kalau perlu berteriak seakan aku menanggung derita yang tak terperikan. Tetapi saat ini petugas parkir itu benar-benar sedang memberikan kenikmatan yang tak terhingga padaku, dan aku sungguh-sungguh ditimpa derita nikmat yang tak terperikan, sehingga tanpa dia minta kini aku benar-benar mengeluarkan desahan, rintihan dan teriakan-teriakan demikian hebat yang bahkan tak bisa kukendalikan lagi.
Dan ketika tongkatnya terasa makin legit dan sesak keluar masuk dalam nonokku, aku tahu bahwa sebentar lagi dia akan mempersembahkan kenikmatan yang tak terperi padaku. Aku sendiri sudah harus bergegas menerima puncak-puncak derita hasil perbuatannya. Dan saat aku merasakan adanya semprotan cairan yang sangat kuat dan panas dalam nonokku, puncak nikmatkupun muncrat hadir menyertainya. Pada saat itu aku tak lagi ingat macam bagaiman kegaduhan yang terjadi dalam mobil yang juga ikut terguncang-guncang ini. Yang kuingat hanyalah aku ter-rebah nungging dan tengkurap ke jok mobil dan petugas parkir itu melepas batang panasnya dari lubang kemaluanku. Kemudian aku terlena sesaat.
Saya baru sadar saat musik Polonaise dari ruang ball room terdengar bergema. Segera bangkit karena pasti Mas Karsiman, suamiku telah menunggu aku. Aku menjambret kertas tissue yang selalu ada di mobilku untuk membersihkan cairan dan lendir kental yang meleleh di seputar vagina dan pahaku. Kucari petugas parkir itu, rupanya dia telah meninggalkan aku. Mungkin karena aku lupa tidak memberikan tugas untuk membimbingku dari mobil menuju gedung ball room itu. Dan aku bergegas kembali untuk suamiku yang pasti sudah gelisah menunggu. Sebelum aku menemuinya aku mampir terlebih dahulu ke toilet ball room untuk membetulkan busana malamku dan sedikit riasan wajahku. Saat akhirnya suamiku menggandeng aku untuk melakukan ritual Polanaise dalam pesta perak bossnya, aku merasakan ada yabg bergetar dalam BH-ku. Ya, ampun, rupanya aku lupa kalau HP-ku telah kuselipkan ke dadaku menjelang berangkat dari rumah itu. Aku menerima SMS dari Ratmi agar aku tidak lupa membuat dokumentasi foto pesta hebat ini.
Malam itu saat pesta usai aku digandeng kembali oleh suamiku keluar dari ball room menuju tempat mobil kami. Aku tengak-tengok kesana kemari mencari petugas parkir yang ramah itu tetapi tak kulihat batang hidungnya. Mungkin dia sedang sibuk mengatur keluar masuk mobil lainnya di tempat lain. Aku sampai di rumah sekitar pukul 11 malam. Kulihat Ratmi dan pelayan rumahku masih melek menungguku. Sebagai putri yang seanggun Cinderella aku merasa tidak harus menegur mereka. Aku langsung masuk ke kamar untuk membuka busana jutaan rupiahku ini.
Rumah kontrakan yang sempit di Tanjung Priok ini membuatku sangat kegerahan. Saat aku melepaskan gelang berlianku dari tangan kanan dan kiriku aku merasa ada yang kurang. Satu bentuk gelang berlianku telah hilang dari tanganku. Aku jadi ingat tuju(tujuh)-an yang ke tiga, rupanya petugas parkir itu telah menjambret gelang berlianku yang kubeli seharga 5 juta rupiah dari uang arisanku itu. Seketika pandanganku gelap, aku limbung terkulai dan jatuh ke lantai.
Aku sudah tergeletak di tempat tidur saat terbangun. Kulihat Ratmi sedang mengipasi aku dengan kertas bungkus dagangannya. Pelayanku sedang memijiti kakiku, dan suamiku di sana sedang terduduk lesu. Di genggaman tangannya kulihat celana dalamku yang nampak basah lembab yang dia ketemukan di jok mobilku. Dia menasehatiku dengan matanya yang penuh rasa kasihan agar kalau aku pergi-pergi jangan meninggalkan celana dalam di mobil, hingga menyebabkan aku kini masuk angin. Kemudian dia menyuruh pelayanku mengambil minyak goreng untuk mengerok punggungku.
Malam itu aku tertidur dengan sangat nyenyak. Masa bodo dengan gelang berlian, masa bodo dengan busana Harry Darsono, masa bodo dengan Polonaise dan Nana Marina-nya. Rasanya sawah di Gempol, Wonosari jauh lebih indah dari semuanya ini. Dan pelukan Mas Karsiman terasa jauh lebih nikmat daripada jambretan tangan petugas parkir itu.
TAMAT