Cerita Sex Istriku Jaminan Untuk Bayar Hutang Part 2 – Tadi pagi orang suruhannya kembali datang membawa surat. Aku terima dan baca. Dari nada tulisannya Pakde Karto akan memberikan jalan keluar yang sama-sama menguntungkan. Nggak usah kawatir, begitu katanya. Aku berpikir, mungkin Mas Herman dimintanya untuk membantu pekerjaannya agar bisa melunasi hutangnya.
Aku sampaikan surat itu kepadanya. Dia minta pertimbangan aku, apa mesti menemui Pakdenya. Aku bilang itu urusan Mas Herman, terserah mau datang atau tidak. Aku memang agak ketus. Soalnya aku sudah kesal. Sejak awal aku sudah sampaikan bahwa aku tidak suka judi.
Akan halnya Pakde Karto, aku memahami sifatnya sebagai lelaki. Umumnya lelaki memang mata keranjang. Apalagi Pakde ini punya uang, dan tampangnya juga ‘handsome’ kata gadis-gadis jaman aku masih SMU dulu. Walaupun sudah umur, lelaki itu ibarat keladi, makin tua semakin jadi dan semakin seksi. Dan itu semua dimiliki Pakde Karto. Dan aku juga sepenuhnya menyadari bahwa Pakde nampak kesengsem padaku. Dari pandangan matanya kurasakan betapa dia pengin banget melahap tubuhku.
Terus terang diam-diam aku menikmati mata keranjangnya Pakde. Tentu sikapku ini tak akan kutunjukkan pada Herman suamiku. Aku masih suka mimpi merasakan kembali bagaimana kumbang-kumbang terbang mengitari aku sebagai kembangnya. Kekaguman lelaki yang nampak matanya rakus menikmati tubuhku sungguh membuat bergetar hatiku. Mata-mata penuh nafsu yang seakan melihat aku telanjang itu benar-benar memberikan aku gairah birahi.
Oke Sex Aku memang berdarah panas. Selalu rindu belaian dan merindukan sentuhan dan tusukkan erotis. Mas Herman suamiku berterus terang tidak bisa mengimbangi darah panasku. Aku sering membayangkan lelaki lain atau semacam Pakde Karto yang mampu memberikan kehangatan semacam itu. Kalau sudah begitu aku ingat kembali saat-saat bersama Ditto, Usman atau Pandi. Masih terasa banget dihidungku aroma mereka. Serta terasa banget dibibir dan lidahku di bibir, leher dan dada mereka dalam kecupan dan jilatan manisku. Masih terasa banget hangatnya cairan kental dari penis Pandi yang membasahi mulutku. Ah.., akankah hal itu akan kudapatkan lagi?
Memang Pakde Karto tidak lagi pantas menjadi panutan Mas Herman sebagai keponakannya. Setiap kali datang ke rumah yang semestinya urusannya sama Mas Herman, Pakde justru mengumbar matanya seakan hendak menelanku. Sering aku lihat dia hanya mengangguk-angguk saat Mas Herman menyampaikan sesuatu, sementara wajahnya melihati ke arahku.
Belum lama ini dia datang atas permintaan Mas Herman untuk meminjami uang, sesaat sesudah menerima uang Mas Herman yang sedang kegilaan sama togel pergi ke bandar togel untuk mengejar mimpinya dan meninggalkan aku yang hanya bersama Pakde Karto. Tentu saja Pakde langsung menggunakan kesempatan itu untuk lebih mendekati aku.
Dengan gaya seolah-olah orang tua yang melindungi anaknya, dia mengelusi rambutku,
“Rini, kalau kamu punya masalah biar Pakde bantu ya. Kamu masih muda dan sangat ayu. Seharusnya kamu nggak perlu menderita. Kamu perlu apa? Ngomong saja nanti aku bantu ya, Cah Ayu”.
Duh, gombalnyaa.. Aku merinding saat tangannya yang nampak berbulu sempat menyentuh kudukku. Kemudian dia merogoh kantongnya dan memberikan kepadaku amplop besar,
“Ini buat kamu sayang. Jangan kasih Herman. Nanti buat judi lagi.”
Tentu saja aku terima. Aku juga perlu uang pribadi. Aku bertemu pandang dengan Pakde,
“Terima kasih,” ucapku pelan yang dia balas dengan senyuman buaya sambil tangannya menjumput daguku kemudian menariknya untuk mencium bibirku.
Peristiwa itu sama sekali tak kuduga dan berlangsung sangat cepat sehingga aku tak sempat menghindarinya kecuali dengan secepatnya aku menarik diri dan melepaskan dari rengkuhannya. Ah, seharusnya aku tersinggung dengan tingkahnya itu. Tetapi entahlah. Sepertinya aku tidak bisa berkutik didepan Pakde Karto ini. Pada saat seperti ini rasanya dia sangat kharismatik. Aku tunduk. Aroma parfum lelakinya semburat menerpa hidungku.
Sepulang dari kantor Pakde kulihat Mas Herman sangat tegang, kasihan. Aku berjanji pada diriku, apapun aku akan bantu suamiku. Aku ingin meringankan bebannya. Dia langsung duduk bengong, linglung. Aku sodorkan segelas air putih yang langsung diminumnya habis. Dia belum juga ngomong. Diserahkannya padaku amplop yang penuh. Loh, kok dapat malahan uang, pikirku. Aku langsung membukanya. Kudapati segepok uang dan secarik kertas. Aku belum juga ngerti makna semua ini.
Pakde Karto akan menjemput kami besok pagi. Apa maksudnya? Mau menjemput kemana? Dengan penuh tanda tanya aku goyang-goyangkan tubuh Mas Herman. Akhirnya dengan tersendat-sendat dia bicara dan bicara. Aku mencoba menangkap kata per kata. Kemudian aku mencoba memahami rangkaian kata-kata tadi. Hingga akhirnya aku tetap tak mengerti bahwa seorang Pakde Karto akan caranya yang demikian buruk untuk bisa mendapatkan dan menikmati tubuhku. Ah, kenapa mesti begini..?!
Tetapi yang sesungguhnya paling menyedihkan dan langsung membuatku sangat kecewa adalah sikap Mas Herman sendiri. Dia sama sekali tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai suami. Ternyata hanyalah seorang pengecut. Dia dengan begitu tega mengorbankan aku sebagai isterinya. Dengan dia menerima amplop berisi uang yang kini ditanganku berarti dia benar-benar telah menjual aku dan menjadikan aku sebagai alat untuk membayar hutang-hutangnya dengan sama sekali tidak membicarakannya padaku terlebih dahulu.
Dan kini, aku harus dan harus menerima buah kepengecutan dia. Aku langsung limbung. Kulihat dinding-dinding kamar oleng dan jungkir balik. Tubuhku sangat lunglai dan aku langsung terjerembab ke lantai. Aku kini merasa sebatang kara tanpa ada seorangpun yang melindungiku. Fungsi Mas Herman sebagai suami sudah musnah karena kepengecutannya. Dia tak akan pernah mampu menyelamatkanku lagi.
Kurasakan tangan Mas Herman menarikku bangkit. Pelan-pelan aku bangun dari lantai dan langsung lari ke kamar tidur. Pintunya kubanting dan aku mengunci diriku. Aku rebah tergolek dan tersedu di ranjang. Ketukan pintu yang bertubi-tubi dari Mas Herman tak kudengarkan. Kini yang hadir dalam hati dan pikiranku adalah rasa marah, kecewa dan dendam.
Aku marah, kecewa dan dendam kepada kehidupan ini. Kepada ketidak mampuan dan segala kelamahan yang aku alami. Kepada sikap suamiku yang bagitu mengabaikan saat aku melarangnya berjudi. Dan tetap tak habis heranku memikirkan rencana Pakde Karto itu yang jelas-jelas mengorbankan hubungannya dengan keponakannya. Ber-jam-jam aku tidak keluar dari kamar. Pikiranku terus melayang-layang memikirkan banyak hal-hal. Aku menerawang jauh ke hari depan yang begitu gelap dan mendung.
Aku keluar kamar menjelang malam. Tak kujumpai Mas Herman. Kulihat amplop di meja setengah terbuka. Kuambil. Ternyata isinya tinggal separuh.
Edaann.., sungguh edaann.. kamu Mas.., dalam situasi begini kamu masih menyempatkan pergi untuk ke bandar togelnyaa..!! Edaann..!!
Tiba-tiba aku hatiku jadi menyala berkobar.. Kalau begini jadinya, sudahlah.. terjadilah apa yang mesti terjadi. Seperti dicambuk jilatan geledek dan petir aku bangkit sebagai banteng betina yang sangat marah dan kecewa. Aku mau bebas. Aku mau merdeka. Dan, ah, aneh.., tekad itu langsung membuat marah, kecewa dan dendamku langsung pupus. Kebebasan dan kemerdekaanku membuka kesadaranku bahwa aku tak perlu tergantung siapapun. Dan yakin mampu berjalan sesuai dengan rasa bebas dan merdekaku.
Sikap itu langsung membatu dalam diri sanubariku. Aku akan mengambil langkahku sendiri. Kini kuyakini, akulah yang harus mengambil keputusan untuk diriku sendiri. Tak ada lagi suami atau Mas Herman. Yang ada hanyalah aku yang sendirian dengan hari-hari depanku sendiri. Aku akan jalani apa yang mesti aku jalani. Lalu kujemput Pakde Sastro sesuai dengan kebebasan hatiku. Danu akan kulayani dan puaskan hausnya nafsu hewaniah Pakde Sastro. Serta akan mereguk kenikmatan syahwatku yang selama ini tak sepenuhnya kudapatkan. Aku akan tunjukkan pada Herman bahwa aku kini bebas se-bebas-bebasnya.
Cerita Pakde Karto
Setiap mengingat bahwa aku ini hanya jebolan SMP dari desa kecil di kecamatan Sleman, Yogyakarta, yang kalau aku turun di terminal saat pulang kampung masih memerlukan 1 jam lagi berjalan kaki dan nyeberangi kali hingga sampai ke rumahku di kaki bukit Menoreh, maka aku merasa bahwa apa yang kini aku bisa raih di Metropolitan Jakarta ini sungguh membanggakan.
Dan kalau aku pulang kini, ibaratnya aku cukup dengan duduk di jok empuk sambil nginjak-injak rem serta gas mobil Panther-ku sejak start dari pintu garasi rumahku di Jakarta hingga turun di samping kandang sapi orang tuaku di desa kecil di kecamatan Sleman itu.
Jakarta memang memberi apa yang kuminta. Usahaku yang menyalurkan tembakau untuk pabrik-pabrik rokok kecil di Jakarta membuahkan hasil. Aku menjadi pusat omongan di desaku.
Kalau kudengarkan omongan orang desa, aku kini sudah menjadi orang yang pantas menjadi contoh mereka. Nggak tahu dari mana asalnya, kalau mereka ketemu mereka memanggilku dengan ‘den Karto’. Aku nggak menampik panggilan itu. Aku anggap bahwa itu urusan mereka.
Yaahh.., semuanya itu karena kerja keras dan uang yang kuhasilkan. Terbukti dengan uang aku bisa meraih banyak kesenangan. Makan enak, rumah, beberapa mobil dan kesengan lainnya.
Bahkan biarpun umurku sudah 57 tahun dengan uang itu aku tetap dengan gampang menggaet gadis atau janda manapun yang kumaui. Memang menurut orang-orang aku juga termasuk lelaki yang memiliki tampang dan seksualitas yang lumayan.
Saat ini aku lagi kesengsem sama Rini istri Herman keponakan sepupuku. Pada awalnya Herman menemuiku di kantor untuk minta bantuan keuangan padaku. Aku memberikan bantuan ala kadarnya. Aku pikir nggak baik terlalu gampang pada famili, nantinya bisa jadi repot. Saat pulangnya, karena memang masih ada hubungan famili, aku antar pulang ke rumahnya untuk melihat keadaan rumah tangganya. Saat itulah aku lihat Rini. Isteri Herman ini benar-benar cantik dan manis.
Pikiranku langsung terganggu. Aku tahu, perempuan macam Rini ini akan sangat galak dan panas saat di ranjang. Dengan warna kulit yang coklat hitam manis, dengan postur jangkung dan bahunya yang bidang indah itu, aku pastikan Herman kewalahan menghadapi birahinya Rini. Lihat, betisnya itu. Betis yang ‘merit’ bak padi Cianjur yang matang dan padat sebelum dituai. Itu menandai bahwa nafsu perempuan ini tak mudah terpuaskan.
Aku langsung kasmaran. Dalam hatiku aku langsung bertekad. Rin, kamu pasti akan tidur bersamaku. Aku akan meraihmu, lambat atau cepat. Sejak saat itu aku selalu menunggu kesempatan. Aku tak pernah menolak permintaan pinjaman uang Herman, karena memang aku selalu gunakan kesempatan itu untuk melihat Rini.
Suatu saat bisnisku mendapatkan kesulitan keuangan. Tagihan-tagihanku agak tersendat karena para langgananku mengulur waktu pembayarannya. Sementara para pemasokku yang dari berbagai daerah gencar banget menagih aku. Bahkan salah satu dari mereka mengancam aku secara fisik hingga aku khawatir akan keselamatanku maupun keluargaku. Aku menghadapi krisis berat, krisisnya bisnis di tengah metropolitan yang kejam. Ternyata kewalahan. Aku coba tengok-tengok kembali dimana uang-uangku. Dimana tunggakan-tunggakan macet.
Dan kudapatkan dari sekian penunggak hutang salah satunya adalah Herman. Ternyata pinjaman Herman padaku sudah kelewat besar dan telah jauh melewati batas waktu pembayaran. Ah, ini tak boleh kubiarkan. Aku tahu bahwa tak akan gampang bagi Herman melunasi hutang-hutang ini. Tetapi aku harus menagihnya. Bukankah terakhir ini dia suka pasang lotere buntut. Siapa tahu dia dapat pukulan telak yang bisa langsung melunasi seluruh hutangnya. Dan kalau toh tak bisa juga?
Bukankah ada Rini istrinya yang sangat seksi itu? Aku pikir biarlah hutang itu kuanggap lunas kalau aku bisa meniduri Rini barang 2 atau 3 hari saja. Kini kuperintah orangku untuk mendatangi Herman dan mengajukan surat tagihannya.
Setelah beberapa kali mencari-cari orangku tak berhasil menemui Herman aku mulai kesal. Masak bantuan dan kebaikanku padanya selama ini tidak dihargai. Setidak-tidaknya ada omongan atau janji kapan, begitu loh. Aku tersinggung dan marah. Herman ini mesti dikasih pelajaran. Dia harus tahu bagaimana aku Pakdenya menyelesaikan masalah-masalahnya. Aku harus cari siasat. Aku coba pikirkan dan analisa.
Kesimpulanku akhirnya, bahwa Herman tak akan mampu membayar hutangnya. Kuhitung telah lebih dari 15 juta rupiah, belum termasuk bunganya. Itu jumlah yang besar buatku kini. Aku tak mau rugi, tak mau hasil jerih payahku begitu saja diambil Herman yang memang dasarnya pemalas itu. Aku harus mendapatkannya kembali uang itu. Kalau nggak bisa juga, aku harus dapatkan pengganti yang kira-kira nilainya sepadan. Rini, istrinya!
Kini Herman tinggal pilih, bayar hutang dengan uang atau Rini. Aku bergegas ke mejaku. Kutulis surat untuknya. Kuperintahkan orangku kembali mengantarkannya dengan pesan, kalau tak ketemu Herman, serahkan saja ke isterinya, suruh dia baca untuk disampaikan ke suaminya. Aku bersiasat dengan memberikan nada harapan pada surat itu. Saya minta datang ke kantor siang hari itu. Aku bilang jangan khawatir, ada jalan keluar yang sama-sama menguntungkan, tulisku.
Nah, akhirnya datang juga si pecundang ini. Dengan diantar Satpam dia masuk keruangan kerjaku. Aku menampakkan wajah sangarku. Kuperintah Satpamku agar menunggu dan mendengarkan bicaraku. Nampak wajah lelahnya. Aku bicara garang tentang hutangnya yang sama sekali belum dibayar. Aku berikan padanya kesempatan untuk mendengar bicaraku atau urusannya jadi lain. Nada bicaraku kubuat sangat menekan dia. Dan ternyata Herman langsung menyerah. Dia bilang terserah bagaimana aku. Yang penting dia ingin lekas terbebas dari hutang-hutangnya yang menumpuk itu.
Aku langsung bayangkan bahu bidangnya Rini. Juga betisnya yang bak beras Cianjur yang matang itu. Kutolehkan kepalaku ke Satpam. Kusuruh dia keluar ruangan. Kemudian aku mendekat ke Herman, kupegang bahunya dan kudekatkan bibirku ke telinganya, aku berbisik. Kuucapkan apa mauku. Aku mau mengajak Rini ke villaku selama 3 hari dan aku mau juga dia ikut untuk menggantikan tugas pelayanku yang kusuruh pulang selama aku bersama Rini di sana. Hal ini aku lakukan agar pelayanku itu tidak melihat apa yang kuperbuat dan lapor pada istriku. Kutekankan pula bahwa semua ini karena ulahnya yang tidak bertanggung jawab. Dia harus menerima pelajaran dariku.
Aku belum selesai bicara saat kulihat Herman nampak limbung dengan cahaya matanya yang layu. Dia rebah lemas ke lantai. Aku panggil kembali Satpamku untuk mengurusinya. Kuserahkan amplop berisi 20 lembar ratusan ribu rupiah berikut sedikit catatanku agar Rini bersama dia telah siap aku jemput besok jam 7 pagi. Aku percayakan pelaksanaan selanjutnya pada Satpamku, aku tinggalkan ruangan. Aku monitor sorenya. Tidak ada reaksi penolakkan dari Herman. Yaa.., dia nggak mungkin punya lain pilihan. Dan mengenai Rini. Aku yakin Rini tak akan menolakku. Aku masih ingat beberapa hari yang lalu saat aku mencuri ciuman dibibirnya, dia tidak menunjukkan kemarahan. Ah.. besok aku akan menikmati tubuh sensualnya. Aku menggigil menahan gelora birahiku yang langsung menyala.
Tiga hari di Villa Rimbun Ciawi
Pada suatu pagi hari, sekitar jam 7 pagi sebuah sedan Honda Civic keluaran terbaru dengan remnya yang berdernyit berhenti di depan rumah keluarga Herman. Seorang sopir yang amat sopan nampak turun, masuk kehalaman dan memberikan salam hormat kepada nyonya rumah yang rupanya sudah nampak tak sabar menunggunya. Tidak terlalu lama sang sopir menunggu, tuan dan nyonya rumah mengambil koper atau cangkingan lainnya yang telah disiapkan sebelumnya.
Sesudah semua barang bawaan masuk ke begasi, Herman sang tuan dan Rini sang nyonya memasuki mobil. Ada sedikit insiden kecil. Rini mau Herman duduk di depan bersama sopir dan dia sendirian di belakang. Semula Herman menolak, dia ingat pesan Pakdenya mereka harus nampak sebagai suami istri yang akan memakai villanya.
Tetapi melihat kukuhnya Rini akhirnya Herman mengalah. Sepanjang hampir 1 jam perjalanan keduanya tidak banyak bicara. Hanya sesekali terdengar Herman ngomong sama sopir mengenai apa yang nampak sepanjang perjalanan. Adapun Rini kelihatannya sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Dia yang telah memutuskan dirinya sebagai pengambil keputusan bagi dirinya sendiri kini nampak tegar dan yakin akan keputusannya sebagai orang yang bebas dan merdeka untuk menentukan apapun yang terbaik bagi dirinya.
Bersambung…